PDM Kabupaten Banyuwangi - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Banyuwangi
.: Home > Naskah Pengajian

Homepage

Naskah Pengajian

MA’NA SALAF MENURUT BAHASA DAN ISTILAH.
 
4.1 Makna Salaf dari sisi Bahasa.
         Berkata Imam Ibnu Mandhur Al-Afriqy dalam Lisanul arabnya :       “Lafadh salaf digunakan untuk sekelompok orang-orang zaman dahulu, bardasarkan Firman Allah:
“ Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan teladan bagi orang-orang yang kemudian “   (QS, 43:56)
 
     Salaf juga dikatakan sebagai umat atau golongan yang terdahulu, yaitu didalam perjalanan hidup, atau juga dalam umur, atau dalam keutamaan, atau terdahulu dalam kematian.
Juga dikatakan arti salaf adalah apa-apa yang dipersembahkan seorang dari amal shaleh . [1]
 
4.2.   Makna salaf dari sisi ishtilah . [2]
     Menurut pandangan para ulama’, salaf adalah nama dari setiap orang yang diikuti madzhab dan atsarnya dalam agama seperti imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, maka mereka disebut salaf bagi kita, sedangkan para sahabat dan tabi’in adalah salaf bagi mereka.
     Definisi yang lain dari salaf adalah menyeluruh dari para imam mujtahid dalam agama, termasuk dalam istilah ini adalah semua mujtahid dari para ulama’ islam dimasa kapan saja sekalipun bukan para sahabat atau tabi’in, atau tabi’ut tabi’in yang semoga Allah meridhai mereka semua.
 
     Sebagaian yang lain mendefinisikan salafiyah adalah : faham yang berpegang teguh pada Al-qur’an dan sunnah sebagai sumber awal dari ilmu dan amal sebagaimana yang telah dipegang oleh para sahabat Nabi saw. Syeikh Muhammad Abdul Hadi Misry mendefinisikan dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan salafiyah adalah : istilah yang diperuntukkan bagi para imam yang terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi Allah Swt, dari kalangan sahabat dan tabi’ien dan tabi’ut tabi’ien sebagai mana sabda Nabi saw :
" خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ "   رواه البخاري
 “ Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian mereka yang sesudahnya, kemudian mereka yang sesudahnya lagi. Lalu akan datang orang yang kesaksianya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya “. (Hr. Bukhary)
     Imam Al-Qolsyani mengatakan : “ Salafus Salih adalah generasi pertama dari umat ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, dan mengikuti petunjuk Nabi saw, menjaga sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agamanya …   [3] 
 
     Oleh sebab itulah setiap orang yang berpegang teguh pada aqidah, fiqh, ushulnya para imam-imam, ia dapat menisbatkan pada mereka (salaf), meskipun tempatnya berjahuan. Dan setiap orang yang menyalahi mereka sekalipun ia hidup ditengah-tengah mereka, bahkan berkumpul dalam satu tempat dan satu masa ia bukan termasuk golongan mereka. [4]
 
4.3.   Makna Salaf dari sisi sejarah.
      Para ulama’ telah berpendapat mengenai definisi salaf ini dengan menentukan mereka yang hidup sebelum abad kelima hijriyah.
 
     Dan dikatakan juga mereka itu nampak pada abad keempat dan mereka dari pengikut Imam Ahmad bn hanbal dan mereka menduga bahwa global pemikiran mereka berakhir pada imam Ahmad bn Hanbal yang telah nyata menghidupkan aqidah para salaf dan memerangi aqidah selainnya, kemudian muncul baru lagi pada abad ketujuh hijriyah diatas tangan syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, kemudian muncul lagi pada abad keduabelas hijriyah diatas tangan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dari jazirah Arab. [5]
 
     Sebagaian yang lain menentukan mereka (salaf) juga dengan para sahabat, dan tabi’in dan yang hidup sampai pada abad ketiga .
     Sebagain lagi menentukan salaf dengan sahabat dan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Barang kali mereka menyandarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan oleh imam Bukhary dalam shahihnya dari Amran bin Husain ra, nabi bersabda :
" خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ .... " رواه البخاري
 “ Sebaik-baik ummatku adalah abad dimana aku berada, kemudian abad setelah mereka dan kemudian setelah mereka “    (HR. Bukhary)
 
4.4. Makna Salaf dari sisi ‘Itiqad .
     Yang dimaksudkan dengan mereka adalah para sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para ulama’ dengan ushulu sunnah dan cara-caranya, mereka adalah penjaga aqidah dan benteng syari’at yang mereka sadar dengan ushul-ushulnya, mengamalkannya baik secara ucapan lesan dan perbuatan dan keyakinan baik secara dhahir dan bathin . [6]
 
     Orang-orang salaf adalah mereka yang mengatakan : “ Kami beriman sebagaimana yang diimani kaum muslimin yang mula-mula yaitu para sahabat Nabi saw dan yang diimani oleh para imam agama ini yang diakui akan kebaikan dan ketaqwaan mereka, pemahaman mereka yang sehat terhadap agama Allah Azza wa Jalla, maka mereka (orang-orang salaf) yang menempuh jalan mereka dan menjadikan teladan dari atsar-atsarnya.
     Mereka itu memegang teguh dengan Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, dan para ahli hadits yang mereka mengambil teladan dari syari’at Allah dan Rasul-Nya.
     Sedangkan salafi adalah siapa saja yang menempuh jalan mereka dalam mengembalikan hukum-hukum syari’at pada Kitabullah dan sunnah Rasulullah saw.
 
     Dikatakan juga mereka adalah siapa saja yang menempuh jalan seperti apa yang ditempuh nabi saw dan para sahabatnya, mereka adalah golongan yang selamat dan kelompok yang mendapat pertolongan dari Allah sebagaimana nabi sabdakan :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ يَخْذُلُهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ فَقَالَ عَلِيٌّ هُمْ أَهْلُ الْحَدِيثِ “   رواه الترمذي
“ Nabi saw bersabda :” tiada lain yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan dan Beliau saw bersabda :” Senantiasa golongan umatku muncul dengn kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang mendiamkannya sampai datang perintah Allah. Dan dari Nabi saw : “ Senantiasa golongan dari umatku muncul dengan kebenaran “, Ali berkata mereka adalah ahlul hadits “.   (Hr. Tirmidzi)
        
     Dari beberapa definisi yang saling berdekatan ini dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan aqidah salaf adalah aqidah yang yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah dan sebagaimana yang telah dijalani oleh para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in dan orang-orang mengikuti manhaj mereka.
 Allah Berfirman :
“ Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami memasukkan nya kedalam neraka jahannam , dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali “   (QS, 4:115)
 
 “ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemengan yang besar. (QS, 9:100)
 
     Ayat yang pertama didalamnya memberikan pengertian akan ancaman yang keras bagi mereka yang mengada-adakan atau mengikuti jalan lain dalam pokok-pokok agama (ushuludin), yang telah ditempuh oleh orang-orang yang beriman. Saya katakan ushuludin karena para sababat tidak sama/satu pendapat dalam masalah cabang-cabang agama (furu’).
 
     Adapun ayat yang kedua didalammya merupakan dan sanjungan yang agung pada tiga macam kelompok dari orang-orang yang beriman yaitu :
1.     Kaum Muhajirin yang masa mereka sudah lewat.
2.     Kaum Anshar yang mereka juga sudah habis.
3.     Setiap siapa-siapa yang mengikuti mereka dengan kebaikan, dan ini terus sampai hari kiamat.
     Ketiga macam kelompok inilah Allah meridhai mereka dan mereka ridha pada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, dan mereka kekal didalamnya dengan kenikmatan yang tidak terputus, dan tiadalah kemenangan yang lebih besar dari ini secara mutlaq.   [7]
                            
 
7.2 Ciri dan Karakter Firqatun Najiyah.
     Tatkala Nabi saw menjelaskan akan sifat dari golongan yang selamat (Firqatun Najiyah) yaitu mereka adalah yang mengikuti apa yang ditempuh oleh Nabi saw dan para sahabatnya yang hal itu terealisasi dan nampak didalamnya akan karakter mereka yaitu :
 
1.    Penerimaan mereka yang utuh terhadap Wahyu dan tidak mendahulukan apapun dari padanya. 
     Sesungguhnya ilmu dan pemahaman yang benar dan sempurna dalam masalah aqidah, syari’ah, adab, dan lain-lainya tidak akan ada kecuali dengan jalan wahyu yang telah diturunkan yaitu Al-Qur’an dan sunnah, hal itu ilmu akan Allah dan nama-nama dan sifat-sifat dan perbuatan-Nya, mengetahui apa yang diwajibkan dan yang harus disucikan dari-Nya, ilmu-ilmu tentang Malaikat, Kitab yang Allah turunkan, para Nabi dan ilmu yang berkaitan dengan akhirat seperti surga dan neraka, ilmu-ilmu syari’at baik yang global maupun yang rinci, hukum-hukum yang yang berkaitan dengan mukallaf dan ilmu-ilmu akan jalan yang benar yang mesti dilalui dalam segala kondisi seperti saat marah, ridho, kekurangan dan kaya, aman maupun takut, dalam kebaikan atau keburukan dalam masa tenang dan masa terjadinya fitnah.
 
     Komitmen terhadap dalil yang syar’ie, yang mana tidak layak bagi seorang muslim untuk menolak, ragu atau ada pilihan lain terhadap nash yang ada didepannya, yang hal ini merupakan pedoman hidup yang Allah berikan pada mereka yang beriman dengan keimanan yang benar. Allah Berfirman :
 
“ Dan tidak patut bagi seorang mu’min laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya menentukan sustu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka teentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat yang nyata “. (Qs. 33;36).
 
     Seorang mu’min yang benar tidak akan berpaling dari nash dan mengikuti hawa nafsu, namun harus tunduk dan menerima bimbingan wahyu sampai benar-benar hawa nafsunya mengikuti apa yang telah dibawa Nabi saw (risalah). Sebagaimana Nabi saw sabdakan :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ    رواه ابن أبي عاصم في السنة
“ Tidak dianggap beriman salah seorang diantara kamu sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang didatangkan padaku “
 
     Bahkan Allah Azza Wajalla mencela umat bahkan mengkafirkan dan menghapus amal mereka karena mereka membenci apa yang Allah turunkan (Al-Qur’an dan Sunnah). Firman Allah :
 
“ Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian iti karena sesungguhnya mereka benci terhadap apa yang Allah turunkan (Al-Qur’an). Lalu Allah menghapus (pahala-pahala) amal mereka “. (Qs. 47;8-9)
 
     Oleh sebab itu siapa yang kondisinya seperti diatas yaitu komitmen dan berhenti pada wahyu dan tidak mendahulukan sesuatu apapun dari padanya, maka dia termasuk orang yang dapat memanfatkan wahyu dengan sebenarnya, menjadikannya sebagai petunjuk dan dia mendapatkan petunjuk . oleh sebab itu pula Allah Azza wajalla menyebutkan dalam Kitab-Nya akan orang kafir yang berhak mendapatkan adzab baik dari golongan Jin dan Manusia adalah mereka yang memiliki hati tidak mau memahami, punya mata tidak melihat dan punya telinga tidak mendengar, Allah Berfirman :
 
 “ Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari Jin dan Manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakanya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah) mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai “.   (Qs. 7;179)
 
     Karena mereka tidak mau mengambil manfaat dari nash/wahyu, sekalipun mereka mendengar sebagaimana juga mereka tidak bisa mengambil manfaat dari ayatul kauniyah yang dapat disaksikan mata hingga hakikatnya mereka tidak berakal baik dalam masalah ini maupun yang itu. [8]
 
2.    Terpengaruhnya hati dan perasaan yang mendalam dengan Wahyu dan Iman.  
        Ilmu yang benar yang berlandaskan dalil yang kuat (shahih), ia merupakan ilmu yang bermanfa’at, yang bukan sekedar hakikat dari perasaan yang berinteraksi dengan akal saja, tanpa adanya keterkaitan dengan hati dan anggota tubuh. Demikian itulah menurut para sahabat Nabi saw dan juga golongan yang selamat (Firqatun najiyah) yang mereka berjalan diatas jalan yang mereka tempuh.
 
     Nabi telah mewariskan pada mereka ilmu akan Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya, cinta, tunduk kepada-Nya, rindu dengan perjumpaan dengan-Nya dan mengharapkan bisa melihat wajah-Nya dengan mata kepala disurga Aden. Merka juga mewarisi akan pegagugan Allah, takut pada-Nya, waspada terhada siksan-Nya, mengharapkan rahmad dari-Nya, dan berbaik sangka pada-Nya (husnudhon), masalah surga dan neraka , mengharapkan kenikmatan yang abadi dan hati mereka selalu berharap kenikmaatan yang ditakuti akan hilang, dan waspada agar tidak terjatuh pada adzab Allah. Sehingga hati meraka senantiasa menggantungkan pada kehidupan akhirat, hingga seolah olah melihat kebangkitan, kiamat, timbangan (mizan), jembatan (sirath), surga dan neraka dengan pandangan mata.
 
     Diriwayatkan dari Handholah bin Rabi’ al-Asady ra, berkata : “ Abu Bakar menemuiku dan bertanya :” Bagaimana keadaanmu ya Handholah ?”, aku berkata :” Munafiqlah Handholah [9] “, Abu Bakar berkata :” Maha Suci Allah apa yang kau katakan “. Aku menjawab :” Jika kami bersama Rasulullah mengingatkan akan surga [10] dan neraka hingga seolah-olah kami melihat dengan pandangan mata, namun jika kami keluar dari Rasulullah kami disibukkan dengan istri, anak-anak, dan pekerjaan kami banyak lupa”, [11] Abu Bakar berkata :” Demi Allah kamipun juga seperti ini “, maka aku dan Abu Bakarpun pergi menemui Rasulullah saw dan menceritakan kondisi diatas”, maka Nabipun menjawab :” Demi Dzat yang jiwaku ada digenggaman-Nya jika sekiranya kamu terus seperti saat bersamaku [12], tentulah Malaikat akan menyalamimu ditempat tidurmu,dan dijalanmu akan tetapi ya Handholah sesaat demi sesaat “. [13] (Hr. Muslim dan Tirmidzy)
 
     Nabipun mengisyaratkan pada perintah peningkatan iman dan bersungguh-sungguh dalam menghidupkan hati, menjaga dari kelalaian yang dapat membinasakan, sebagaimana mengisyaratkan pada kondisi yang diharapkan oleh Handholah ra, pada lebih dekat pada kondisi Malaikat dari pada manusia, seorang Muslim tidak dituntut untuk merealisasikan dalam jiwanya dengan bentuk selamanya dan terus menerus.
 
     Bagi para sahabat Nabi saw makna perasaan semacam ini menduduki tempat yang agung, karena keimanan mereka amat dalam dan lebih sempurna dari pada iman siapapun selain mereka, mereka telah mengambil ilmu itu langsung dari Rasulullah saw yang tidak tercemar dengan debu hawa nafsu dan kelalaian.
 
     Keterkaitan makna yang agung semacam ini dengan ilmu yang shahih yang terbangun dari nash wahyu menyelamatkan mereka dari bahaya besar yang dapat membinasakan iman dan amal seperti yang terjadi pada kelompok sesat dan kelompok sempalan yaitu :
1.     Pada kehidupan kerahiban atau kependetaan nasrani, menyingkir dari kehidupan dunia, dan jihad dengan da’wah, amar ma’ruf nahi munkar, dan berbagai persoalan kehidupan dunia, yang kehidupan tidak akan bisa tegak kecuali dengan menegakkannya. Padahal kehidupan para sahabat merupakan pendekar disiang hari dan rahib dimalam hari, ilmu dan iman mereka yang benar dan ketakutan mereka pada Allah tidak menghalangi mereka untuk menegakkan kehidupan duniawinya seperti jual-beli, bertani, menikah, bergumul dengan anak dan istri, berjihad, berda’wah, menegakkan kwajiban-kwajiban pemerintahan dan seterusnya. 
2.     Pada pengagum diri sendiri (ujub) yang merendahkan amalan orang lain yang hal ini merupakan akhlaq yang rendah dan penyebab dihapusnya amal shaleh.
 
     Demikian sikap dan watak dari pada golongan yang selamat (Firqatun Najiyah) sepanjang masa tidak terseret pada penyerupaan karakter kaum Nashara dengan kerahiban dan menyingkir dari kehidupan duniawi, yang berbeda dengan kaum sufi dan yang menyerupai mereka yang menyimpang dari manhajnya Nabi saw yang telah dilalui oleh para sahabat yang semoga Allah meridhoi mereka.   
 
3.     Membentuk kehidupan amaliyah, baik perorangan maupun sosial dibawah bimbingan wahyu. 
 
      Dua karakter diatas yang terdapat pada point pertama dan kedua yang telah melekat dihati dan kokoh didalamnya, pastilah akan membuahkan hasil yang secara alami dalam perilaku seseorang, yang mana seluruh amal seseorang tergantung pada bagaimana sikap-sikapnya, pemikiran-pemikirannya dan langkah-langkahnya bersama perasaan yang hidup dalam hati.
 
     Maka terwujudlah pada diri orang yang beriman, dari ibadah, perilaku yang baik, istiqomah, berbuat baik dan menjaga silaturahmi, santun, dermawan, berakhlaq mulia, memprioritaskan kebenaran, jihad, berda’wah, amar ma’ruf nahi munkar, bersabar, tsabat dijalan Allah dan seluruh perbuatan yang terpuji yang merupakan penterjemahan amaliyah dari haati yang hidup memperoleh bimbingan wahyu Ilahi. Hingga dalam sisi amaliyah dan hati terus ada keterkaitan yang mustahil akan berseberangan dan berbeda, sebagaimana Nabi saw menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir ra. Nabi bersabda :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ (رواه البخاري )
“ Ketauhilah bahwasanya didalam jasad itu segumpal darah, jika ia baik maka baik pulalah seluruh jasad tersebut dan jika ia rusak maka rusak pulalah seluruh jasad ketauhilah dia itulah hati “ (Hr. Bukhary)
 
      Sesuatu yang bisa membuat baik segumpal darah /hati itu adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah sebagaimana turunnya hujan menyirami bumi yang gersang yang membuahkan I’tiqad/keyakinan, perasaan, ucapan dan perbuatan yang baik.
 
     Ditempat yang lain Syeikh Muhammad Jamil zinu telah memberikan keterangan bahwa firqotun Najiyah memiliki ciri-ciri :
 
1.             Menjadikan “Lailaha illallah” sebagai prinsip tauhid dalam beribadah dengan arti luas , meliputi do’a, istighatsah, penyembelihan, pernikahan bahkan tatanan berbangsa dan bernegara. Karena arti “lailaha illallah” itu adalah persembahan yang hanya dihadapkan kepada Allah. Karena itu, “lailaha illallah” tidak boleh bersentuhan dengan kesyirikan, termasuk khurafat dan takhayyul.
 Hal ini berdasarkan Firman Allah :
 
Dan siapa yang tidak mempercayai thaghut (berhala) dan beriman (hanya) kepada Allah, maka berarti dia itu benar-benar telah berpegang teguh dengan buhul yang paling kuat, yang tidak bisa terlepas lagi. (Qs. 2/ 256)
 
Orang-orang yang beriman dan tidak mengaburkan imannya itu dengan kezhaliman (syrik dan kemungkaran), mereka itulah yang dijamin akan mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang mengikuti petunjuk. (Qs .6/ 82)
 
2. Menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan utama dengan tetap memupuk rasa ukhuwah sesama muslim.
        Dasarnya Firman Allah :
Dan pegang teguhlah tali Allah dan janganlah kamu bercarai berai. (Qs. 3/103).
 
Dan janganlah kamu termasuk dari antara orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka hingga menjadi bergolong-golongan, yang masing-masing golongan membanggakan diri atas apa yang ada pada mereka (fahamnya sendiri). (Qs, 30/31-32 )
 
3. Menghindari segala bentuk bid’ah, dengan cara berpegang pada sunnah Rasul dan Khulafa’urrasyidin.
 
Dasarnya ialah sabda Nabi Saw :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وفي رواية قال إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ ﴿رواه مسلم والنسائى والترمذى وقال حسن صحيح﴾
     Kuwasiatkan kepadamu hendaklah kalian tetap bertaqwallah dan selalu mendengarkan serta menta’ati (peraturan) sekalipun kamu di bawah kekuasaan seorang budak habasyi,karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kamu nanti akan menjumpai berbagai ikhtilaf (perbedaan pemikiran), maka (waktu itu) peganglah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang selalu mengikuti petunjuk (Allah), pegang dia kuat-kuat dan gigitlah dengan gigi geraham; dan dalam riwayat yang lain dalam sahih Muslim Nabi Bersabda : sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebenar-benar petunjuk adalah prtunjuknya Nabi saw, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, Kamu harus waspada terhadap segala hal yang baru,karena sesungguhnya setiap yang baru itu adalah diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di neraka. (HR Muslim, Nasai dan Tirmidzi, Tirmidzi mengatakan : Hadis ini Hasan Shahih).
 
4.             Setiap kali ada perbedaan pemikiran, selalu berusaha untuk engemba-likan kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Dasarnya Firman Allah :
 
Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu masalah, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah).(Qs an-Nisa’ 59 )
 
5. Lebih mengedapankan Firman Allah dan Sunnah Rasul dari pada pemikiran manusia.
     Firman Allah :
 
 Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah), dan bertaqwalah kamu kepada Allah karena sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Qs al-Hujurat 1).
 
5.             Selalu menghidup-hidupkan sunnah Rasul Saw baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam masalah-masalah social, kendati harus menjadi seorang yang asing, sesuai sabda Rasul saw :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ﴿رواه مسلم ﴾
Sesungguhnya Islam itu mula-mula datang dengan asing dan akan kembali asing lagi, namun, sungguh berbahagialah orang-orang yang asing. (HR Muslim).
فطوبى للغرباء : الذين يصلحون اذا فسد الناس ﴿أخرجه ابوعمرو الدانى﴾
Sungguh berbahagialah orang-orang yang asing, yaitu orang-orang yang selalu berbuat baik di sa’at manusia rusak. (HR Abu ‘Amr ad-Dani)
من الغرباء ؟ قال : الذين يحيون سنتى ويعلمونها الناس
 Rasulullah Saw ditanya :Siapakah Ghuraba’ itu ? Beliau menjawab : Ialah orang-orang yang selalu menghidup-hidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada orang lain.
 
7. Tidak ta’ashub (fanatik buta) terhadap pendapatnya sendiri, maupun pendapat orang lain, namun, tidak pula apriori. Karena pendapat itu bisa saja salah. Yang tidak salah hanyalah Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sun-nah). Fanatisme hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan Sun-nah), sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما : كتاب الله وسنتى ولن يتفرقا حتى يردا على الحوض ﴿رواه الحاكم﴾
 Kutinggalkan di tengah-tengah kamu dua perkara, yang sesudah itu kamu tidak lagi akan tersesat jalan, yaitu Kitabullah dan Sunnahku, dan kedua perkara tersebut tidak akan terpisah hingga keduanya itu akan sampai kepadaku ketika aku sudah berada di telaga (di surga). (HR Hakim).
 
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ ﴿رواه احمد﴾
 Semua keturunan Adam (manusia) suka berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang bertobat.(HR Ahmad).
 
وقال الامام ملك رحمه الله : كل أحد يؤخذ و يترك من كلامه الا النبى r
 Imam Malik mengatakan : setiap orang itu bisa diambil dan bisa ditolak ucapannya kecuali Nabi saw.
 
8.   Respek terhadap para imam mujtahidin tanpa fanatisme terhadap salah satu madzhab. Karena madzhab mereka adalah al-Quran dan Sunnah Shahihah. Karena itu, sesuai wasiat para imam, setiap pendapat yang cocok dengan hadis yang shahih, maka itu pendirian mereka dan setiap yang bertentangan haruslah ditinggalkan.
Imam As-Syafi’i mengatakan :
اذا قلت قولا وجاء الحديث عن رسول الله r بخلافه فاضربوا بقولى أرض الحائط
Jika aku mengatakan sesuatu pendapat, lalu ada hadis dari Rasulullah Saw berbeda dengan pendapatku itu, maka lemparlah pendapatku itu ke pinggir pagar.
9.             Selalu active dalam gerakan amar makruf nahi mungkar, baik yang berbentuk prilaku maupun pemikiran-pemikiran yang merusak (al-madzahibul haddamah), semisal bid’ah, takhayul, khurafat, liberalisme, secularisme, pluralisme dsb.
Sesuai sabda Nabi Saw :
 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ ﴿رواه مسلم﴾
 Ada satu kelompok dari kalangan ummatku ini yang secara terus menerus membela kebenaran (Islam), mereka itu tidak bisa dipatahkan oleh siapapun yang menentangnya, sampai datanglah urusan Allah sendiri (alias mati). (HR Muslim).
 
10.          Menentang segala bentuk peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul, dengan penuh keyakinan, bahwa hanya hukum Allah-lah yang mampu menciptakan kehidupan yang kondosif, morel maupun materiel
Hal ini Sesuai Firman Allah :
  
 Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Qs.5/50)
 
 
11.         Mengobarkan semangat jihad, baik dengan fisik, lisan, tulisan maupun harta
Hal ini berdasarkan Firman Allah dan sabda Rasulullah Saw :
 
 Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Karena Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan peganglah erat-erat Allah, Dialah Pelindungmu, Karenanya Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. (Qs 22/78).
 
Dan sabda Rasulullah Saw :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ لِكُلِّ نَبِيٍّ رَهْبَانِيَّةٌ وَرَهْبَانِيَّةُ هَذِهِ الْأُمَّةِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ   (رواه أحمد )
Dari Anas bin Malik ra. Dari Nabi saw, Beliau bersabda : "Tiap-tiap Nabi mempunyai kebesaran dan kebesaran ummat (Islam) ini adalah jihad fisabilillah.(HR Ahmad).


[1] Lisanul arab. 6/331
[2] Lihat secara panjang lebar pada buku Aqidatus salafiyah bainal imam Ibnu Hanbal wa Imam Ibnu Taimiyah hal 25-26 oleh Syeikh Dr,Sayyid abdul Aziz al-sibly, 
[3] Al-Mufassirun baina ta’wil wal Itsbat fi ayaatis sifat 1/11
[4] Salaf Islam dalam masa murni oleh Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh
[5] Tarikhul madzhab Imam Abi Zahrah hal 211.
[6] Aqidatus-salaf wa ashabul hadits, Imam Utsman bin Isma’il As-shabuny hal , Darul Ashimah Riyadh Saudi Arabia cet kesatu th 1994.
[7] Thariq ila jama’atil um, Utsman Abdus salam Nuh hal 6-7, Darul Manar Riyadh- Saudi Arabia cet kedua th 1992.
[8] Sifatul Ghuraba’ oleh Dr. Salman al-Audah hal 83-84. Darul Ibnul Jauzi Damman cet. Kedua 1992.
[9] Maknanya bahwa ia takut kalau ia munafiq, yang mana ia merasa takut pada Allah jika dimajelisnya Nabi saw, dan nampak hal ini bagi dia bersama pengawasan Allah (Muraqabah), pemikiran dan penerimaan dengan akhirat. Namun jika keluar dari majelisnya nabi saw dan disibukkan urusan istri, anak, pekerjaan dan kehidupan duniawi ia lupa akan kampung akhirat. Maka disini Nabi menjelaskan bahwa hal itu bukanlah munafiq, karena mereka tidak dibebani untuk selalu mengingat akan hal itu namun sesaat demi sesaat yaitu sesaat begini dan saat yang lain begitu. 
[10] Yaitu ingat akan adzab dineraka dan kenikmatan yang ada disurga atau ketika kami ingat Allah dengan mengingat pada surga dan neraka atau kedekatannya dengan kami, seolah kami melihat dengan mata kepala.
[11] Maknanya seolah-olah kami tidak pernah mendengar dari Nabi sama sekali.
[12] Yaitu saat aku tidak bersama kalian dan kalian seperti saat bersamaku yaitu dari kebersihan hati dan takut pada Allah.
[13] Imam Ibnu Hajar mengatakan : “ Akan melihat Malaikat dengan mata kepala dalam segala kondisi “, dimajelis, tempat tidur maupun jalan-jalan kamu. Namun sesaat demi sesaat dan seorang tidak akan menjadi munafiq jika suatu saat rajin dan disaat yang lain malas, saat rajin melaksanakan hak-hak Allah atas dirinya dan disaat malas memenuhi hajat kebutuhannya pribadi. (Lihat Tuhfatul Ahwadhy syarah Jami’ tirmidzy 7/184). 

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website